Remy Sylado Ada Dua

Manusia kembar memiliki keunikan tersendiri sehingga menjadi daya tarik masyarakat sekitarnya. Bentuk tubuh, Sifat, tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan, dan berbagai hal lain yang cenderung serupa menjadikan manusia kembar sebagai salah satu kejaiban Tuhan yang dapat kita lihat di dunia ini.
Kadangkala kitapun melihat seseorang yang hampir serupa atau identik walaupun sebenarnya mereka bukanlah manusia kembar. Hal ini yang pernah dimunculkan di salah satu stasiun televisi swasta di tanah air dan menjadi tontonan yang menarik, unik dan lucu tentang manusia-manusia serupa dan mereka bukan manusia kembar. Keajaiban Tuhan kembali terlihat yang melahirkan manusia dengan sebaik-baik bentuk.
Lantas, bagaimana dengan nama yang sama?
Ya, seperti judul tulisan ini “Remmy Silado Ada Dua”.
Hal ini dialami oleh saya sendiri, memiliki nama yang sama dengan salah satu nama pena sastrawan yang sudah cukup populer di dalam masyarakat dan kehidupan sastra di Indonesia. Ehmm...siapa yang tidak kenal dengan Remy Sylado? Pengarang novel Chau Bau Khan, Kerudung Merah Kirmidzi, dll. Selain novel, beliau juga menulis puisi. Puisi-puisi Mbeling karya Remy Sylado yang unik menjadikan ia tergolong sastrawan yang terlalu berani menggunakan licentia poetica dan mendapat apresiasi di dunia sastra Indonesia. Drama Siau Ling karyanya tak henti-henti dijadikan objek penelitian mahasiswa sastra indonesia di Indonesia. Setelah dijadikan bahan skripsi di Universitas Gadjah Mada, teman satu kampus dengan saya di Universitas Udayana, Windarti juga menjadikan Drama Siau Ling sebagai objek penelitiannya dari tinjauan sosiologi sastra.
Semenjak saya SD di Jakarta sampai sekarang di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Udayana selalu ada saja yang menanyakan hal ini...
“Namanya Koq Remmy Silado, saudaranya ya?” atau
“ Bapaknya penggemar Remy Sylado ya?” dll....
Saya sih belum pernah mendapat penjelasan dari ayah terkait dengan penamaan yang sama ini karena komunikasi saya dengan ayah tidak terlalu bagus. Hanya, saat kecil saya pernah menguping pembicaraan ayah dengan kawannya tentang penamaan saya ini. Sedikit ya saya ceritakan...
Ayah saya bernama Suliyanto, guru Bahasa Inggris SLTPN 180, Bambu Apus, Jakarta Timur. Ayah sangat senang dengan dunia sastra. Kalau saya perhatikan dari saya kecil, ayah sangat menyukai puisi. Buku-buku puisi karya W.S Rendra sangat banyak di rumah. Sampai-sampai saya takjub melihat dan mendengar ayah membaca puisi saat peringatan dirgahayu RI di dekat rumah. Waktu itu saya SMU kelas satu, ayah membacakan puisi “Bandung Lautan Api”. Mendengar suaranya yang sangat lantang saat membaca puisi sayapun terdiam tak dapat berkata apa-apa, saya kagum, takjub dan tak percaya ternyata ayah sangat pandai menjadi seorang orator puisi. Hal ini pula yang dirasakan seluruh penonton saat itu. Semua penonton yang terdiri dari ±200 orang itu hening, tanpa suara, teringat perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan oleh puisi “Bandung Lautan Api” yang dibacakan oleh ayah saya.
Tentunya, kejadian ini tak dapat saya lupakan. Ayah tiba-tiba meminta membaca puisi kepada panitia dan panitiapun tak dapat melarang. Sebelum ayah membaca puisi, acara sangat ramai oleh musik-musik dangdut. Tapi, setelah ayah membaca puisi suasana berbalik 180 derajat. Semua penonton terdiam padahal, ayah membaca tidak memakai pengeras suara. Setelah itu ayah bercerita di rumah, katanya tidak tahan melihat peringatan kemerdekaan dengan hura-hura. Padahal, bangsa ini sangat membutuhkan ilmu dan kepandaian agar sungguh-sungguh menjadi bangsa yang merdeka. Ups...koq jadi cerita ayah ya?he..jadi lupa cerita tentang “Remmy Sylado Ada Dua”. Ayahku, kau memang hebat!!!
Ayah juga pemain teater, saya mendengar dari ayah saat bercakap dengan kawannya ketika ditanyakan tentang penamaan saya. Ayah sampai bertemu dengan Remy Sylado pengarang Chau Bau Khan itu. Ia bertemu di rumahnya, saya lupa saat itu mendengar rumah Remy Sylado di daerah mana. Sepertinya sih di Cikini karena dekat dengan tempat sekolah ayah mengajar yang dahulu di SLTPN I, Cikini, Jakarta. Ayah menuturkan, dulu sampai tidak boleh masuk ke rumah sastrawan hebat itu oleh bodyguard dan satpam-satpam di depan rumahnya. Tapi, ayah tetap memaksa masuk ingin berbincang-bincang dengan Remy Sylado, sekalian izin menggunakan namanya mungkin untuk digunakan kepada anaknya yaitu saya. Akhirnya, ayahpun masuk dan bertemu dengan Remy Sylado. Kata Ayah, rumahnya besar, unik dan antik, benar-benar seorang sastrawan hebat.
Saya belum sempat menanyakan langsung kepada ayah perihal penamaan kembar ini. Saya hanya menguping karena tidak berani bertanya. Ayah dulu sangat terkesan galak makanya saya takut. Sampai di usia saya 22 tahun saya tak berani menanyakan hal ini. Ya, walaupun saya sudah hampir menjadi calon Sarjana Sastra saya masih takut bertanya.
Tulisan ini luapan ketakutan saya bertanya dan merupakan wujud impian saya untuk dapat berjumpa juga dengan Remy Sylado. Saya pernah melihatnya dulu di Gramedia, Matraman, Jakarta, tahun 2004/2005 kalau tidak salah. Saat itu peluncuran buku terbaru Remy Sylado, saya hanya melihatnya dari jauh dengan busana serba putih. Baju, ikat Pinggang, celana, sepatu dan rambutpun putih karena ia sudah berumur. Saya ingin menyapa ketika berpapasan dengannya saat ia pertama kali masuk pintu gramedia dan saat saya mau keluar. Saya ingin menunjukkan KTP saya bahwa nama saya juga Remmy Silado. Saya ingin bercerita kepadanya. Saya ingin menanyakan apakah ayah saya pernah ke rumahnya dahulu meminta izin ‘tuk memakai namanya. Saya ingin memberitahukan kepada semua orang bahwa Remy Sylado ada dua. Tapi, ia berjalan begitu cepat dikawal oleh orang-orang yang tegap. Pupuslah harapan dan impian saya saat itu.
Saya pernah menjadi PEMRED majalah Al-Azam Kampus Udayana, saya sangat senang dengan dunia jurnalitik. Afiliasi saya di kampus pernah menjadi Kepala Departemen Jurnalistik. Semoga nanti ada novel-novel, antologi puisi, cerpen dan drama saya yang dicetak oleh penerbit. Sehingga, semua orangpun tahu bahwa Remy Sylado ada dua. Dan keduanya merupakan sastrawan hebat dari dua generasi berbeda. Walaupun, ia di Jakarta dan saat ini saya di Denpasar yang masih menempuh bangku kuliah.
Saya punya impian menjadi sastrawan besar. Manusia kembar memiliki kemiripan yang begitu banyak, sayapun berharap penamaan kembar juga seperti itu. Saya ingin punya novel, puisi dan drama seperti Remy Sylado. Dan sayapun berniat menjadikan salah satu novel Remy Sylado menjadi objek skripsi saya, ya tahun depan 2009. Doakan saja semoga perencanaan kuliah saya tepat. Semoga saja bisa bercerita dengan karya-karya dan bisa bersua dengan sastra. Sastra untuk impian saya. [Remmysilado].
Semoga tulisan ini dapat dibaca oleh sastrawan Mbeling Remy Sylado. Sehingga, ia pun mengetahui. Lewat blog ini semoga PEMRED media di tanah air memuat tulisan saya. setelah 22 tahun saya baru bisa menulis cerita ini, semoga penikmat-penikmat sastra yang membaca ini menyampaikan salam saya kepada pengarang puisi Mbeling. Saya takut bertanya, semoga ayah saya juga membaca ini dan mengetahui bahwa anaknya akan menjadi sastrawan hebat pula seperti W.S. Rendra (penyair favoritnya) dan Remy Sylado (menitipkan namanya di saya).

Comments

Sajak Idealis said…
wah . . .
semoga jadi the next mbeling remy sylado deh . . .
aku juga suka sama puisi-puisinya . . .
unik banget!
beda lah pokoknya . . .

salam kenal aja ya, remy sylado II . . .
hehehe. . .
Sajak Idealis said…
oya, gw arric.
blog tuh bukan cuma gw yang ngisi.
klau mo balas komen, tarok di puisi yang gw buat aja.ntar, takutnya temen-temen gw tuh pada bingung lg.
oya, lo paling suka puisi remy yang mana?
wyd said…
waktu ngeklik di google, saya juga mengira ini blognya pak remi sylado :)

kalau melihat usiamu, saat kamu lahir, pak remi sylado adalah nara sumber yang banyak angkat bicara soal pernikahan beda agama. mdh2an ibu ga salah inget deh. saat itu kan ada beberapa kasus pesohor yang kesulitan menikah karena perbedaan agama
ngatnoisme said…
This comment has been removed by the author.