Drama Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar
oleh Remmy Silado
(disarikan dari Cerita Pendek Nyoman
rasta Rindu)
Babak I
Made
Otar: “pulanglah ke Puri Tunak Agung.” [1]
Sambil
menatap mata Gung Gde Lila penuh arti. Lalu melanjutkan sambil menunduk.
Made
Otar: “Bagaimanapun juga beliau adalah Ajik Tu Nak Agung[2]
pula. Dan lupakanlah segala yang telah lalu.”
Bale Banjar (Dok: Bali Media Info) |
Made
Otar: “Tiga hari lagi beliau diabenkan.[3]
dan tahukah Tu Nak Agung? Tahukan Tu Nak Agung bahwa ketika beliau
menghembuskan nafas beliau yang terakhir, beliau ada memanggil-manggil Tu Nak
Agung. Sungguh itu sungguh! saya sudah cukup lama memarekan [4]
di Puri Tu. Saya tahu betul sifat-sifat beliau adalah orang yang keras, akan
tetapi sesungguhnya beliau cepat memaafkan orang.”
Gung
Gde Lila masih terdiam, dengan acuh tak acuh dia mencabuti jambangnya yang
sudah bertumbuhan tak teratur. Made Otar memperbaiki ikatan antong[5]
anduknya yang hampir lepas karena lamanya duduk di kursi menghadap Gung Gde
Lila bekas majikannya.
Made
Otar: “Dan beliau menyerahkan cincin bermata bangsia ini kepada saya dan beliau
minta agar cincin ini saya serahkan kepada Tu. Beliau minta menghendaki agar Tu
Nak Agung memakai cincin ini sebagai tanda bahwa ajik sesungguhnya telah
memaafkan Tu Nak Agung.”
Tapi
Gung Lila masih tetap diam dan bersikap acuh tak acuh. Made otar menyadari
bahwa pendirian Gung Lila masih tetap seperti semula. Dan Made Otar merasa
bahwa sudah waktunya ia minta permisi.
Waktu
itu utusan keluarganya itu pulang tanpa hasil. Dan ini, ketika Gung Lila duduk
merenung seperti itu,ia merasa betul-betul sendiri. Tidak ada orang lain yang
mendampinginya, sejak tiga hari yang lalu, ketika Made Otar datang ke rumahnya
itu.
Dan
ini lebih merasa sendiri lagi, ketika ia sadar hari ini adalah hari pembakaran
mayat ayahnya, seperti yang telah disampaikan Made Otar. Dan istrinya masih
menangis dalam kamar. Sejak Made Otar datang, istrinya selalu menyarankan agar
ia memaafkan keluarga ayahnya. Istrinya mendesaknya agar ia pulang waktu
pembakaran mayat ayahnya. Akan tetapi, gung Lila masih tetap pada pendiriannya.
Babak II
Malah
ia teringat kejadian tiga tahun yang lalu, ketika ia melarikan sulastri,
istrinya itu. Dan kemudian mengawininya tanpa restu dan bahkan lebih tidak
memperoleh restu lagi dari orang tua dan keluarganya sendiri.
Anak
Agung Gede : “Kalau kamu memilih
gadis, pilihlah gadis yang baik jangan gadis macam begitu.”
Gde
Lila terhenyak dan protes
Gung
Lila : “Macam begitu
mana maksud ayah?”
Anak
agung gede : “Ya macam
begitu,seperti istrimu itu!”
Anak
Agung Gde membentak keras, tapi Gung Lila menangkis keras pula, walau tanpa
disadarinya air mata lelakinya menitik tiba-tiba karena gemas. Lalu Gung Lila
bertanya kembali kepada ayahnya.
Gung
Lila : “Bilang terus
terang ayah. Ayah menghendaki seorang menantu dari kasta bangsawan juga kan?”
Anak
agung gede terdiam karena merasa ditentang terus.
Gung
lila : “Bilang terus
terang ayah. Ayah menghendaki seorang mantu dari kasta bangsawan juga kan??”
Anak
agung gede terdiam, mukanya tiba-tiba menjadi merah. Nafasnya turun naik di
dadanya yang sudah ditumbuhi bulu putih abu-abu. Tongkat ramping berkepala
ukiran ular yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya itu gemetaran.
Anak
Agung Gede : ”Kalau kau mau
kawin,kawinlah! Tapi ayah jangan kau sebut-sebut dalam perkawinanmu itu. Dan
apabila kau telah kawin nanti,sejak itu pula kau tidak kuakui keluargaku lagi.
Mengerti kau?”
Gung
Lila tersentak, dan melangkah ke kori[6]
sambil meneriaki ayahnya.
Gung
Lila :”Ya, saya
mengerti, dan saya akan kawin. Saya akan bersedia memikul akibatnya.”
Waktu
itu juga keputusan telah diambil Gung Lila. Ia melarikan Sulastri. Namun ia
ingat kini,bagaimana perkawinan itu menjadi ricuh pada mulanya. Ketika
desas-desus tersebar bahwa Gung Lila akan melarikan Sulastri, keluarga Sulastri
sudah bersiap-siap untuk mempertahankan Sulastri, karena mereka juga sudah
mendengar bahwa apabila Gung Lila jadi mengawini sulastri,ayah dan keluarga
Gung Lila pasti tidak akan bersedia menyelesaikan perkawinan itu secara adat
dan bahkan mereka juga mendengar bahwa Gung Gde Lila akan dibuang dari
keluarganya.
Sikap
keluarga Gung Gde Lila yang kokoh itu membuat keluarga Sulastri tersinggung serta
membatalkan izin sulastri untuk kawin dengan Gung gde lila
Ayah
sulastri : “Lastri, mulai
hari ini kau tidak boleh kawin dengan Gung Gde Lila. Kau urungkan saja niatmu
untuk kawin dengan Gung Gde Lila. Kau sudah dengar keputusan keluarganya bukan?
semuanya itu merendahkan derajatnya kita. Kita pun punya derajat, walaupun
bukan derajat bangsawan. Kita punya derajat, yaitu derajat kemanusiaan.”
Sulastri
terhenyak dan mencoba membantah
Sulastri :”Tapi, keputusan itu
bukan keputusan Gung Cae Lila ayah”.
Ayah
Sulastri :” Ya, ya Ayah tahu.
Tapi, akan kau palingkan ke mana mukamu apabila kau kawin nanti bila ternyata
tidak ada seorang keluarganya pun yang bersedia menjengukdan menyelesaikan
perkawinanmu?”
Ayah
bersikeras, akan tetapi sulastri juga bersikeras, sehingga pada suati hari ia
memutuskan untuk menjumpai Gung Gde Lila di sekolahnya dan melarikan diri waktu
itu pula. Untung Made Sukarya, teman Gung Gde Lila bersedia meminjamkan
kendaraannya untuk melarikan diri, serta menyediakan rumahnya di luaran kota
untuk tempat menyembunyikan diri, sementara menunggu penyelesaian dari kedua
belah pihak.
Keluarga
Gung Gde Lila heboh. Demikian juga keluarga sulastri. Pada mulanya
masing-masing bersikeras,tidak mau menyelesaikan perkawinan itu antar keluarga.
Namun akhirnya, ketika keluarga sulastri menerima ancaman dari Sulastri, bahwa
apabila ia didiamkan begitu saja, ia akan bunuh diri, ayahnya yang merasa
kasihan pada anak satu-satunya itu datang juga akhirnya ke tempat persembunyian
itu dan merestui perkawinan itu. Perkawinan yang berlangsung tanpa orang pun
yang hadir dari keluarga Gung Gde Lila dan diwakilkan kepada temannya Made
Sukarya.
BABAK
III
Istrinya
masih menangis di dalam kamar, ketika made otar utusan keluarganya datang ke
rumah Gung Gde Lila, dan sekali lagi Otar menyampaikan pesan keluarga Gung Gde
Lila, supaya Gung Gde Lila memaafkan ayahnya dan pulang ke puri, berhubung sore
nanti pembakaran mayat ayahnya dimulai. Akan tetapi, Gung gde Lila tidak
sedikitpun memperlihatkan muka manis malah ia berkata sinis
Gung
Gde Lila : “ Kenapa
tidak mereka saja yang datang ke mari? Dulu ketika saya kawin mereka bersikeras
sama sekali tidak datang dan mereka membuang saya dari keluarga mereka. Maka
sekarang saya pun tidak akan mau pulang ke Puri. Camkan kata-kata saya itu.
Made
Otar terhenyak
Made
otar: ” tapi ini kesempatan terakhir Gung gde untuk menghormati beliau”.
Gung
Lila semakin tetap pada pendiriannya dan berkata dengan sinis.
Gung
Lila : “Beliau bukan ayah saya lagi
sejak beliau membuang saya”
Gung
Lila tetap pada pendiriannya, dan utusan itu pulang dengan tangan hampa. Gung
lila termenung, Kini terbayang di hadapannya apabila matahari sudah condong ke
barat, upacara pembakaran mayat ayah yang dimulai tanpa kehadirannya sebagai
putra satu-satunya. Terkadang muncul keraguan dalam hatinya. Ia ingin pulang
dan memaafkan ayahnya, akan tetapi hatinya sendiri belum ada yang menyampaikan
rasa maaf.
Mereka hanya menyampaikan agar ia pulang, akan tetapi mereka tidak
ada mengatakan rasa maaf.
Ia
ingat kini, ketika anaknya baru berumur tiga bulan dan harus dibuatkan sekedar
upacara, tanpa persediaan uang sesenpun, karena kemiskinan dan kekurangan yang
tak pernah dibayangkan sebelumnya sebagai seorang bekas putra bangsawan kaya
telah mencekamnya begitu rupa. Tapi hatinya pantang untuk menyebutnya minta
bantuan kepada keluarganya, malah keluarganya sendiri sering mengejeknya bila
bertemu muka di jalan. Dan demikianlah hidupnya telah berlangsung dari pinjam
sana-sini dengan sedikit bantuan dari keluarga Sulastri.
Waktu
anaknya diupacarai itupun telah terjadi kegoncangan jiwa seperti yang telah
dialaminya sekarang ini. Ketika upacara seleseai beberapa orang dari keluarga
sulastri tidak bersedia ikut makan paridan bebanten[7]nya
sebagai pertanda mereka belum mengakui perkawinan mereka. Walaupun ayah dan ibu
Sulastri dan beberapa orang misalnya bersikap biasa. Gung Gde Lila sebagai
seorang berdarah bangsawan sudah tentu merasa tersinggung. Seharunya semua
orang tanpa kecuali boleh memakan paridan itu, sebab bebanten itu dibuat untuk
seorang putra bangsawan walaupun dilahirkan oleh seorang ibu dari keluarga
sudra, akan tetapi darah ayahnya adalah darah bangsawan dan berhak memakai
gelar bangsawan.
Selang
istrinya selalu ingin pulang ke Puri dan meminta maaf kepada keluarga Gung gde
Lila dan demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, gung gde lila masih tetap pada
pendiriannya. Sekarang pun istrinya minta diantar ke Puri.
Sulastri : “Mari kita Pulang!”
Gung
Gde Lila : “Pulang ke mana lagi
Lastri? Kitakan sudah berada di rumah.”
Sulastri : “ke Puri”.
Gung
Gde Lila : “aku bukan keluarga
Puri lagi.”
Sulastri
memaksa dengan nada tinggi.
Sulastri : “Tapi beliau ayahmu sendiri,
sebentar lagi akan diabenkan. Hampir sebagian besar dari penghuni kota Denpasar
ini akan melihat dan bahkan aku juga dengar, bahwa pembakaran makam ayahmu itu
akan difilmkan oleh beberapa tourist. Apakah
gung tidak malu pada keluarga Gung sebagai putra terbesar dan yang sepantasnya
bertanggungjawab terhadap jalannya upacara?”
Gung
Gde Lila : “Aku
bukan anaknya lagi”.
Dengan
tiba-tiba Gung gde Lila berdiri dan masuk ke kamar. Istrinya bersimpuh di
lantai dan menangis terisak-isak. Matahari sudah condong ke barat. Sebentar
lagi arakan wadah[8]
mayat ayahnya akan lewat di depan rumahnya. Dan sepanjang jalan dari puri
menuju ke kuburan akan penuh sesak oleh orang-orang yang nonton pembakaran.
Dengan
tiba-tiba ia merasa seperti diburu oleh suara sorak-sorai para pangusung wadah
mayat yang gegap gempita.
Gung
gde Lila merenung di beranda depan. Matanya kosong menatap langit, dan ketika
bunyi kentongan dipukul di bale banjarnya[9]
sebentar lagi Akan ke Puri serta ikut ambil bagian dalam upacara. Tapi kenapa
ia sendiri tidak?
Kentongan
dipukul untuk kedua kalinya. Istrinya memohon lagi dengan mata basah dan suara
yang serak.
Sulastri : “mari kita pulang gung. Kita malu
kepada tetangga.”
Gde
Lila lalu membentak
Gde
lila : “kalau kau mau pulang,
pulang sendiri ke Puri Sana.“
Sulastri :”ya, saya akan ke Puri.”
Dan
Gung Lila dengan nada panas memandang kepergian istrinya di balik kamar, serta
panggilan anaknya yang baru bisa bilang papaitu tidak dibalasnya. Iapun
memejamkan matanya ke arakan lewat di depan rumahnya serta suara para pengusung
yang gegap gempita itu semakin riuh juga sampai akhirnya menghilang di
kejauhan. Sesuatu telah menggetarkan jantungnya.
Denpasar’68
[1]
Puri= rumah keluarga bangsawan ksatriya.
Tu= panggilan untuk keluarga bangsawan umumnya.
Nak Agung= dari kata Anak Agung (ksatrya).
[2]
Ajin= dari kata ‘Aji’= Ayah.
[3]
Diabenkan= dari kata ngaben= upacara pembakaran mayat
[4]
Memarekan=membantu (pembantu rumah tangga) di rumah keluarga bangsawan
[5]
Anteng= stagen (istilah ini dipakai untuk lelaki maupun perempuan)
[6] Ke
kori= dari kata kori’= pintu/gerbang.
[7]
Paridan bebanten= paridan sisa-sisa sesajenyang bisa dimakan, jajan, nasi,
daging, dan lain-lainnya.
[8]
Wadah= Bado= alit (rumah-rumahan) pengusung mayat dari rumah ke kuburan
[9]
Bale banjar= balai kampong. Pukulan pertama pada kentongan artinya anggota
diajak bersiap-siap untuk memulai suatu kerja, sedangkan pukulan kedua pada
kentongan artinya sesuatu kerja sudah dimulai.
**Tulisan ini dibuat untuk mata kuliah telaah drama, berhubung cerpen ini sangat menarik, dan sangat jarang dipublikasikan di internet, saya posting gubahan cerpen ini menjadi drama di blog. terima kasih agar silahkan dipublikasikan dengan mencantumkan sumber :)
Comments