Analisis Puisi "Jakarta" oleh Remmy Silado

Analisis stilistika Husni DjamaludinANALISIS PUISI 
Penciptaan sastra pada masa kini lebih menekankan kepada masalah manusia, demikian pula dengan puisi, hanya bagaimana penyair menyajikan itulah yang berbeda. Puisi diciptakan didasarkan atas ilham dari beragam peristiwa yang dituangkan dengan media terpilih, penjiwaan yang lengkap, dan membawa suatu konsep secara puitis (1985: 4).
Tidak dapat dipungkiri bahwa gaya bahasa memainkan peranan yang penting dalam sebuah puisi. Gaya bahasa yang menjadikan karya itu hidup atau kaku. Kalau gaya bahasa dipersembahkan dengan baik, indah dan sempurna menjadikan karya itu menarik dan memikat hati pembaca. Begitulah sebaliknya.
Dalam penulisan sajak atau puisi, setiap penyair mempersembahkannya dengan gaya bahasa yang tersendiri. Pembaca akan dapat mengesan kelainan gaya bahasa diantara seorang penyair dengan penyair yang lain. Gaya bahasa juga menjadikan sesebuah karya itu bermutu tinggi di mata pembaca. Dan biasanya gaya bahasa itu bergantung kepada pengalaman, ilmu dan kemahiran berbahasa yang dimiliki oleh setiap individu.
Makalah ini akan membahas amanat dan penggunaan salah satu gaya bahasa yaitu majas pada puisi “Jakarta” karya Husni Djamaludin. Puisi ini dipilih karena menceritakan tentang kotaJakarta”, selain itu pemilihan diksinya juga sederhana sehingga pesan yang ingin disampaikan penyair mudah dipahami.

Jakarta
(Husni Djamaludin, Jakarta, 22 Juni 1990)
jakarta adalah biskota
yang berjubel penumpangnya
bergerak antara kemacetan jalan raya
dan terobosan-terobosan tak terduga
jakarta adalah bos besar
gajinya sebulan empat milyar
adapun yang babu
tinggi sudah empat puluh ribu
jakarta adalah rumah-rumah kumuh
yang mengusik tata keindahan gedung-gedung pencakar langit
jakarta adalah gedung-gedung pencakar langit
yang mencakar wajah-wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh
jakarta adalah komputer
yang mengutak-atik angka-angka nasib
dan memutar
nasib angka-angka
jakarta adalah ciliwung
sungai keringat dan mimpi rakyatnya
disitu pula mengalir
air mata ibukota

2.PEMBAHASAN
2. Konsep Majas dan Amanat
2.1 Konsep Majas
Majas atau figurative language adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang pengunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya (2006: 152).
Terdapat empat macam jenis kelompok majas yaitu:
1. Majas Perbandingan
Majas perbandingan adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk membandingkan, yang termasuk majas ini diantaranya metafora, litotes, hiperbola, alusio, dan sebagainya.
2. Majas Penegasan
Majas penegasan adalah gaya bahasa yang betujuan untuk menegaskan sesuatu, yang termasuk majas ini diantaranya adalah antiklimaks, anaphora, koreksio, dan sebagainya.
3. Majas Pertentangan
Majas pertentangan adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk mempertentangkan sesuatu, yang termasuk majas ini diantaranya paradoks, antithesis, okupasi, dan sebagainya.
4. Majas Sindiran
Majas sindiran adalah gaya bahasa yang bertujan untuk menyindir, yang termasuk majas ini diantaranya ironi, sinisme, dan sarkasme.
2.2 Konsep Amanat
Puisi mengandung sebuah amanat si penyair. Dalam hal ini ada penyair yang secara sederhana menggambarkan idenya, tetapi ada pula yang agak tersembunyi sehingga memerlukan pengkajian dan analisis yang tepat (1985: 21). Oleh karena itu, ada puisi yang amanatnya tidak sampai kepada para pembacanya karena pembahasan dan penalarannya kurang tepat. Sebaliknya, ada puisi mudah diterima, dipahami, dan ditentukan apa amanat yang ingin disampaikan penyair. Bahkan, puis jenis mbeling serta puisi nonkata pun mempunyai pesan tertentu walaupun kini sedang ramai dibicarakan norang kepuisiannya. Puisi beride (Puisi ide) pada umumnya mudah dan jelas dimengerti orang dibandingkan dengan puisi yang merupkan kumpulan kata-kata saja sehingga timbul kekaburan pesan (1985: 22).
3.ANALISIS
3.1 Analisis Majas
Pada puisi ini terdapat majas perbandingan yaitu alegori. Alegori adalah majas perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Hal ini terlihat pada bait pertama, yaitu:
jakarta adalah biskota
yang berjubel penumpangnya
bergerak antara kemacetan jalan raya
dan terobosan-terobosan tak terduga
Pada bait pertama tersebut, penyair menyimbolkan kota Jakarta dengan, biskota /yang berjubel penumpangnya/bergerak antara kemacetan jalan raya/dan terobosan-terobosan tak terduga/, dengan maksud menautkan ciri-ciri biskota dan kemacetan dengan situasi kota Jakarta.
Selain pada bait pertama, di tiap bait puisi ini juga terdapat majas alegori,
Pada bait kedua: jakarta adalah bos besar
gajinya sebulan empat milyar
adapun yang babu
tinggi sudah empat puluh ribu
Pada bait ini, kota Jakarta disimbolkan dengan perbedaan bos besar dan babu, dengan maksud menautkan ciri-ciri kesenangan bos besar dan penderitaan babu sebagai rakyat kecil dengan keadaan masyarakat kota Jakarta.
Pada bait ketiga, kota Jakarta disamakan dengan rumah-rumah kumuh dan gedung-gedung pencakar langit, ”/jakarta adalah rumah-rumah kumuh/yang mengusik tata keindahan gedung-gedung pencakar langit/jakarta adalah gedung-gedung pencakar langit/yang mencakar wajah-wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh/”.
Pada bait keempat, Jakarta disamakan dengan “komputer”, yang mengatur segala kehidupan ekonomi manusia lewat “angka-angka” yang di utak-atik.
jakarta adalah komputer
yang mengutak-atik angka-angka nasib
dan memutar
nasib angka-angka
Pada bait kelima, Jakarta disimbolkan dengan sungai ciliwung yang kumuh, yang mengalir air mata ibukota.
jakarta adalah ciliwung
sungai keringat dan mimpi rakyatnya
disitu pula mengalir
air mata ibukota
Majas metafora juga terdapat pada puisi ini, metafora adalah majas perbandingan yang diungkapkan secara singkat dan padat (2006: 157), atau pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dan lain-lain.
Pada bait I baris I, “Jakarta adalah biskota”, pada bait ke II baris I, “Jakarta adalah bos besar”, bait ke III baris I, “Jakarta adalah rumah-rumah kumuh”, pada bait IV baris I, “Jakarta adalah komputer”, pada bait ke V baris ke I, “Jakarta adalah sungai ciliwung”.
Penyair dengan sangat jelas membandingkan Jakarta dengan biskota, Jakarta bagaikan bos besar, Jakarta bagaikan komputer, jakarta bagaikan rumah kumuh dan Jakarta bagaikan sungai ciliwung.
Majas hiperbola juga terdapat pada puisi tersebut. Hiperbola adalah majas yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud untuk memperhebat meningkatkan kesan dan daya pengaruh, bukan yang sebenarnya (2006: 111). Pada bait ke II baris II, “gajinya sebulan empat milyar”, adalah ungkapan kiasan, bukan makna yang sesungguhnya melainkan ingin melebih-lebihkan penghasilan bos besar yaitu kota Jakarta adalah sebulan empat milyar.
Pada bait III baris III dan IV terdapat majas personifikasi, yaitu seolah-olah menghidupkan benda-benda mati, ”/jakarta adalah gedung-gedung pencakar langit/yang mencakar-cakar wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh/”. Gedung-gedung pencakar langit diibaratkan menjadi benda yang benyawa yang mencakar-cakar wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh. Mencakar digunakan penyair untuk mengambarkan betapa tinggi gedung-gedung pencakar langit sehinga rumah-rumah kumuh seperti di robeknya. Majas personifikasi juga terdapat pada bait ke-5 baris ke-4, “Air mata ibukota”, ibukota dihidupkan dengan bisa mengeluarkan air mata. Padahal, hanya mata saja yang bisa mengeluarkan air mata.
3.2 Analisis amanat
Puisi ini tergolong kepada puisi yang beride yang memudahkan kita dalam mengetahui pesan yang ingin disampaikan oleh penyair. Puisi “Jakarta” merupakan puisi moral tentang suasana kehidupan kota Jakarta yang begitu rumit masalahnya. Salah satunya masalah transportasi yang sangat buruk penataannya, sehingga penyair menceritakan secara jelas pada bait I, “Jakarta adalah biskota/ yang berjubel penumpangnya/ bergerak antara kemacetan jalan raya/dan terobosan-terobosan tak terduga”.
Secara utuh amanat yang ingin disampaikan penyair adalah kita harus peka terhadap penderitaan rakyat kecil, yang digambarkan oleh penyair dengan ”Adapun yang babu/ tinggi sudah empat puluh ribu”, sebuah penderitaan yang cukup pedih. Harapan penyair agar jangan sampai banyak air mata kesedihan melanda ibukota. Hal ini wujud kepekaan sosial dari penyair yang pernah tinggal di Jakarta dengan menulis pada bait ke-5, “Jakarta adalah ciliwung/sungai keringat dan mimpi rakyatnya/ di situ pula mengalir/ air mata ibukota”.

Kesimpulan
Setelah di analisis, Puisi “Jakarta” ini memiliki beberapa majas yaitu; Alegori, hiperbola, personifikasi dan metafora. Sedangkan amanat dari puisi ini adalah mengingatkan kita dengan kondisi kota Jakarta terlebih masyarakat kecil yang cukup berat kesenjangan sosial yang melanda mereka.

Daftar Pustaka
1. Antara, Igp. 1985. Apresiasi Puisi. Denpasar: CV Kayu mas
2. Djamaludin, Husni. 2004. Indonesia Masihkah engkau Tanah Airku. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
3. Laela dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia

Kunjungi juga tulisan terkait analistika berikut ini:

1. Analisis Stilistika puisi-puisi chairil anwar  
2. Analisis Stilistika Pada Puisi Kepada Peminta-Minta




Comments

Sepenuhnya said…
Susahnya nyampai otakku ini orang makan apa ya kok bisa pintar gini