UPACARA MINUM TEH (SADŌ) BANGSA JEPUN

BAB I
PENDAHULUAN

Jepun telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain di antaranya adalah teknologi, adat-istiadat dan bentuk-bentuk kebudayaan. Jepun telah mengembangkan kebudayaan yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan kebudayaan dari luar itu. Akibatnya, gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional di bawah pengaruh Asia dan budaya modern Barat.
Jepun turut mengembangkan budaya yang original dan unik; dalam seni (ikebana, origami, ukiyo-e); kerajinan tangan (pahatan, tembikar, boneka bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo); dan tradisi (permainan Jepang, onsen, sento, upacara minum teh, taman Jepang); serta makanan Jepang.
Jepang juga merupakan salah satu pengekspor budaya pop yang terbesar. Anime, mode, film, kesusasteraan, permainan video, dan musik Jepang menerima sambutan hangat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia yang lain. Pemuda Jepang gemar menciptakan gaya hidup baru dan gaya hidup mereka memengaruhi mode dan gaya hidup seluruh dunia. Pemuda-pemudi Jepang juga merupakan penguji pertama bagi pendistribusian barang-barang elektronik baru sehingga sebelum diedarkan ke seluruh dunia diuji coba apakah sesuai gaya dan fungsinya menurut mereka.
Upacara minum teh merupakan warisan leluhur dan merupakan salah satu bentuk kebudaan tradisional Jepang yang unik dan berkarakter karena merupakan acara spiritual sekaligus pembelajaran untuk menghargai orang lain. Berawal dari kebudayaan-kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi spirit masyarakatnya untuk membangun Jepang.

Spirit tersebut menjadi katalisator kebangkitan mereka menjadi Macan Asia. Betapa canggih karakter tersebut sampai tidak lebih dari setengah abad Jepang telah berhasil membangun peradaban mereka yang kental unsur tradisi dan membudaya sejak ratusan tahun itu.



BAB II
PEMBAHASAN

Upacara minum teh (sadō; chadō) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (chatō) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

II.1 Tata Cara Pelaksanaan dan Arti
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu, seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi juga sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

II.2 Sejarah
Lu Yu adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh masih dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.
Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.
Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.
Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh Daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.
Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke (Admin, 2008: 2).
Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat dikemukakan lima hal sebagai kesimpulan. Iima hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Upacara minum teh merupakan warisan leluhur dan merupakan salah satu bentuk kebudaan tradisional Jepang yang unik dan berkarakter karena merupakan acara spiritual sekaligus pembelajaran dalam menghargai orang lain yang kemudian menjadi spirit masyarakatnya untuk membangun Jepang
2. Upacara minum teh (sadō, chadō) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu.
3. Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang.
4. Acara minum teh merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu.
5. Acara minum teh merupakan budaya yang masih bertahan hingga sekarang.

Lima hal inilah yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini.

Comments

Anonymous said…
Kalau saya minum teh tanpa pakai upacara. Saya minum teh karena berusaha untuk menjauhi kopi, walau tak sepenuhnya berhasil.
Aliff Mustakim said…
Komentar anda ini dibahagikan kepada bab. Nampak panjang. Tapi amat baik sekali meskipun saya belum baca kesemuanya. Mohon untuk saya copy.
Remmysilado said…
silahkan di copy, kebetulan ini tugas kuliah. jadi, ya dibuatnya per bab2 gitu. makasih
Lelilo said…
wahhh ...
tengs banget tulisannya ..
kebetulan saya lagi ada tugas bahasa jepang ..
jadi bisa dipake buat referensi dehh ..
tengs yiaa ...